Definisi mutu pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mampu memberdayakan individu maupun kelompok individu serta masyarakat pada umumnya. Mutu pendidikan sering kali dikaitkan dengan hasil UN sekolah maupun peringkat universitas tingkat nasional dan internasional.
Atas dasar pemahaman seperti itu, masih banyak sekolah dan perguruan tinggi saling berlomba demi meraih peringkat lebih tinggi dalam akreditasi dan nilai tertinggi dalam UN. Semakin tinggi peringkat yang diraih, jumlah peserta didik yang masuk lembaga pendidikan itu tentu akan lebih banyak, lebih mungkin merekrut tenaga pengajar terbaik, mendapat insentif pendanaan yang lebih tinggi, diakui masyarakat luas, dan sebagainya.
Keberhasilan pendidikan atau manfaat pendidikan terwujud jika masyarakat terdidik berdaya mampu menyejahterakan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya. Keberdayaan masyarakat seyogianya jadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di mana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat mandiri madani sejahtera.
Karena itu, perlu pendefinisian kembali tolok ukur pendidikan dengan mencermati tingkat keberdayaan masyarakat. Selama ini tolok ukurnya lebih bersifat pencitraan di mana lembaga pendidikan mencari akreditasi dan peringkat tinggi, sedangkan masyarakat umumnya mencari status sosial dengan ijazah.
Fakta tentang mutu pendidikan itu lalu ditambah dengan kualitas tenaga pengajar terutama di perguruan tinggi terkait peran mereka dalam menciptakan para sarjana yang tidak hanya punya keahlian dan keterampilan akademik yang baik, tetapi juga yang punya integritas dan siap masuk lapangan kerja.
Syarat yang harus dipenuhi oleh dosen, harus memiliki kemampuan baik serta ilmu yang selalu berkembang. Selain itu, dosen dituntut untuk terus belajar, meneliti, ikut pelatihan agar selalu up date ilmu pengetahuan dan teknologinya. Kalau dosen statis, maka dapat dipastikan ia mengajar sesuatu yang basi. Dosen harus bisa open minded dan juga mengikuti perkembangan ilmu dan memublikasikan karyanya di level global.
Permasalahan yang dialami sejauh ini adalah jumlah dosen yang masih kurang di sebagian besar perguruan tinggi. Kemudian, tidak semua dosen memiliki kriteria yang standar seperti mencapai pendidikan S-2 dan S-3. Belum lagi, masih sedikit perguruan tinggi yang melakukan upaya peningkatan mutu. Tentu saja menyiapkan tenaga dosen yang baik menjadi sangat krusial untuk menghasilkan sarjana yang berkualitas juga.
SDM Berkualitas Dari Kampus
Selama ini kendala yang dihadapi para dosen untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, di antaranya sarana dan prasarana yang terbatas. Misalnya, kurangnya fasilitas buku di perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Namun, faktor lain juga berasal dari dosen itu sendiri.
Semua terkait keterbatasan ilmu dan waktu. Dosen banyak “nyambi” atau bahkan menjabat sehingga kurang baik dan kurang disiplin dalam mengajar. Sudah seharusnya setiap kebijakan dapat dibuat bersama antara PT dan Dikti. Tidak hanya terbatas pada perguruan tinggi negeri, perguruan tinggi swasta melalui APTISI, misalnya, perlu dilibatkan juga.
Dari sisi mahasiswa atau calon sarjana, sudah diketahui pasti bila budaya literasi masih belum melekat di tengah pergaulan mereka sehari-hari di kampus. Demikian pula dengan rasa ingin tahu dan kritis yang belum terbentuk.
Jika masih banyak sarjana yang menganggur, masalah mungkin dapat ditelusuri dari faktor kedekatan antara perguruan tinggi dengan dunia industri atau usaha yang terlihat masih belum sinergis, bahkan belum tercipta sama sekali jalinan kerja sama untuk menyediakan lapangan kerja bagi para sarjana yang baru lulus itu.